Bila Hamil Tanpa Rencana
KOMPAS.com - Banyak perempuan yang panik saat menyadari dirinya hamil, meskipun mereka sudah menikah secara resmi. Mereka beralasan, belum siap secara finansial, masih menumpang orangtua, atau masih ingin berkarier. Namun menurut dra. Tiwin Herman, M.Psi, inti dari semua alasan yang diajukan para pasangan adalah lebih kepada ketidaksiapan psikis. Secara umum, ada tiga sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi hal ini, yaitu langsung menerima kehamilan; menolak, tapi kemudian menerima kehamilan; atau benar-benar menolak kehamilan.
Kategori ketiga ini memang cukup ekstrem, walaupun mungkin kasusnya tak terlalu banyak ketimbang mereka yang awalnya menolak tapi kemudian mau menerima kehamilannya. Kalau sudah ekstrem seperti ini, biasanya berefek secara berkelanjutan hingga ia melahirkan. Jadi, tak hanya mengalami gangguan selama hamil yang lebih berat, tetapi juga mengalami masalah begitu melahirkan. Misalnya, masa pemulihan yang lebih panjang. Atau, bisa saja si ibu enggan menyusui si kecil. “Intinya karena sejak awal secara psikis ia memang tak siap. Akhirnya, bisa terjadi penolakan yang berkelanjutan,” kata dra. Tiwin.
Meski begitu, kecenderungan wanita di Indonesia tidak sampai tingkat ekstrem seperti ini. Kalaupun ada, mungkin hanya hitungan jari. Ketika menolak kehamilan, biasanya ia lalu mendapat dukungan dari keluarga untuk menyikapi secara positif, sehingga selanjutnya ia akan menerima kehamilannya. Lalu berusaha menjaga kehamilannya sebaik mungkin sehingga janin tumbuh dan berkembang baik.
Menyiapkan Plan B
Mengingat kehamilan bisa terjadi kapan saja, pasangan suami-istri sejatinya menyadari bahwa bahwa kehamilan itu bisa direncanakan tetapi juga bisa terjadi di luar rencana. “Jadi meskipun kita punya planning A bahwa tahun depan baru hamil atau tidak punya anak lagi untuk jangka waktu tertentu, seharusnya planning B juga disiapkan, yaitu jika si istri “kebobolan” alias hamil. Dengan demikian, pasangan tetap dapat menghadapi kehamilan tanpa diduga ini dengan sikap yang positif dan bijaksana,” Tiwin berbicara lagi.
Selanjutnya Tiwin memberikan contoh bagaimana cara menghadapi kehamilan tak diduga;
*Pasangan muda yang baru menikah atau yang masih ingin “pacaran” dulu.
Mereka merasa tak siap pada awalnya karena kabar kehamilan yang tiba-tiba ini. Boleh jadi, sang calon ibu mengalami morning sickness yang lebih berat bahkan panjang. Itu terjadi kalau ia “menolak” tetapi masih memiliki sedikit keinginan untuk mau enggak mau menerima kehamilan. Meski begitu, kebanyakan pasangan baru menikah relatif akan lebih cepat menerima kondisi itu. Pasalnya, mereka belum pernah merasakan menjalani kehamilan. Justru dengan kehamilan tak diduga ini, pasangan yang tadinya menolak bisa berbalik menginginkannya. Apalagi begitu mereka berkaca pada teman, saudara atau kerabat Malah bisa jadi mereka berbalik menjadi bersyukur akan kehamilan tak diduga ini. Otomatis, secara psikis pun perempuan akan bisa lebih menerima.
Nah, kalau sikapnya sudah bisa menerima, tentu ia pun akan merasa siap secara mental. Umumnya, mereka akan lebih cepat beradaptasi dengan kehamilannya, selalu ingin tahu perkembangan kehamilannya, memperbanyak literatur atau membaca buku kehamilan, misalnya.
*Wanita/ibu masih ingin fokus/berkonsentrasi pada pekerjaannya dulu.
Menurut Tiwin, masalah penolakan wanita yang ingin fokus pada pekerjaan sebenarnya hanya ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan. Bahwa hamil itu merepotkan, jadi mudah capek, pegal, pusing, kaki bengkak, badan terasa berat, dan sejuta alasan lainnya. Kuncinya adalah faktor penerimaan atas kehamilan ini. Bila secara psikis sudah menerima, tentu segala kendala yang tadi disebutkan takkan terasa atau paling tidak tak terlalu berat bebannya. Bila si calon ibu ini sudah menerima kehamilannya, niscaya keduanya akan berjalan baik. Pekerjaan tetap dapat dilakukan dengan maksimal, pun kehamilan berlangsung dengan lancar. Sedangkan jika harus mengundurkan diri karena kebijaksanaan perusahaan/kantor, tentu terpulang pada ibu. Tapi yakinlah bahwa kehamilan juga rezeki yang juga patut disyukuri.
*Kesundulan, atau kebobolan
Baru saja melahirkan, eh sudah hamil lagi. Saat si ibu sedang fokus mengurus bayi pertama, tiba-tiba harus siap mengurus satu bayi lagi. “Terbayang repotnya seperti apa, bukan? Muncul keraguan dalam diri si ibu, mengurus dan merawat satu bayi saja belum terampil dan masih kerepotan, apalagi ada dua? Di satu sisi, si ibu merasa belum siap menerima kehadiran si calon jabang bayi.”
Akan tetapi, lanjut Tiwin, jika si ibu berusaha bersikap dan berpikiran positif, kehamilannya yang berikut ini bisa saja dianggap sebagai “aji mumpung”. Misalnya, “Ya mumpung lagi repot mengurus bayi, sekalian capek, lah. Daripada hamil 2-3 tahun lagi, nanti repot lagi.” Belum lagi segala kebutuhan si calon bayi, semisal pakaian, alat-alat mandi, peralatan makan dan sebagainya bisa langsung dapat "lungsuran" dari sang calon kakak ini dengan kondisi barang yang masih bagus.
*Pasangan belum siap secara finansial, bahkan tinggal pun masih nebeng di mertua/orangtua
Ibaratnya, untuk kebutuhan berdua saja masih pas-pasan sehingga mereka berencana menunda dulu untuk mau hamil. Bagaimana kalau tanpa diduga sang istri hamil?
“Pasangan ini juga sebaiknya mensyukuri kehamilan. Ingat, banyak orang kepingin hamil tapi tak kunjung mengandung. Bahkan harus menunggu bertahun-tahun lamanya. Bersyukurlah diberi kesempatan untuk hamil. Mengenai kendala keuangan, sebenarnya kalau mau disiasati misalnya dengan mencoba menyisihkan sedikit demi sedikit dari penghasilan bulanan, atau berkonsultasi kehamilan pada bidan bukan ke dokter sehingga biaya yang dikeluarkan tak terlalu banyak. Selain itu, cobalah mencari alternatif penghasilan tambahan. Dengan begitu, ketika menjelang persalinan, dana sudah siap di tangan.”
*Bila pasangan sudah punya banyak anak
Misalnya, anaknya sudah 4 atau bahkan 5. Belum sempat ber KB, tiba-tiba istri hamil lagi. “Kalau tak ada masalah finansial, ketambahan anak lagi bukan persoalan besar. Jadi sejauh faktor emosional, finansial, dan sosial tak ada masalah, mereka akan menerima saja kehadiran calon bayi ini.” Lain halnya bila pasangan merasa tak siap secara finansial sementara mereka sudah punya banyak anak. “Untuk pasangan ini tentu kehamilan cukup membuat 'pusing'. Jangan heran kalau kemudian ada yang minta diadopsi oleh orang lain, itu kalau mereka betul-betul menolak. Sekali lagi, semua terpulang pada ayah dan ibu. Apalagi jika tetap menyimpan keyakinan dan optimisme bahwa setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Tinggal bagaimana mempersiapkan kehamilan itu dengan baik sehingga janin bertumbuh dan berkembang dengan baik pula," pungkas Tiwin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar